Sosok itu, rambut panjangnya yang terurai, terkibas terkena hembusan angin. Bibir merah merekah, tak henti nya mengepulkan asap putih ke abu abuan. Tak jarang ku lihat sosok itu dihampiri lawan jenisnya, entah itu teman temannya. Senyum yang tersimpul, memiliki banyak makna yang tidak ku ketahui. Hanya dia yang mengerti apa yang ada di balik senyuman itu.
Sosok itu, dada sempal terlihat begitu gagahnya terlukis di balik pakaian itu. Dingin, mungkin tak dihiraukannya lagi. Sejenak tawa yang seperti penuh dengan kehangatan terlihat. Kemudian diam. Seperti bayi, ya, bahkan dia tidak tahu bagaimana cara berpakaian yang benar. Seperti tanpa beban, dia melenggak sebebasnya dengan topeng itu. Topeng kepalsuan hidup itu.
Sosok itu, lututnya terlihat jelas. Mulus, seperti kulit bayi yang baru saja terlahir. Atau mungkin dari situlah bayi itu berasal. Rok berwarna hitam yang hanya sependek itu. Kehangatan? Tepatnya mereka mengabaikan dinginnya hidup agar terlepas dari perihnhya hidup. Mungkin, itu yang dia pikirkan.
Jauh terlihat gemerlap lampu, redup, hentakan musik yang keras, mengalahkan degup jantung ku kala melewatinya. Senyum itu, dingin, aku merasakan dinginnya senyum itu. Terasa sangat hampa. Tidak bermakna. Hanya goresan tinta di atas kertas putih polos. Tidak lagi, kertas itu telah penuh dengan noda. Noda yang tidak ada seorangpun berharap memilikinya. Bukan kertas polos berwarna putih.
Sosok itu, tak lagi muda. Berdiri sejajar, sejajar dengan anaknya. Tidak, mungkin seusianya anaknya. Tepatnya, dia bagaikan seorang ibu di antara kerumunan itu. Sedang apa? Mencari anak nya kah? Apakah anaknya ada di antara mereka? Tidak. Dia tidak terlihat mencari. Dia menunggu. Menunggu dan berharap ada yang datang mendekat.
Sosok itu, tidak menghiraukan betapa dingin menusuk ke dalam tulang. Hingga mencapai iga iga. Sangat menyiksa. Balutan pakaian itu bahkan tidak berarti. Aku merasakan betapa dinginnya malam itu. Membekukan setiap langkah kaki. Membekukan setiap cinta. Membekukan setiap hati. Setiap perasaan.
Ku mantapkan langkahku. Menyusuri ramainya malam yang sepi, kelam, gelap dan dingin itu. Mata itu, seperti anak bayi. Seperti anak bayi ketika melihat sang ibu membuka pakaiannya. Melepas pakainnya. Mata itu, seperti bayi yang hendak di beri ASI. Terdapat secercah harapan. Itu yang ku tangkap kala mendekati sosok itu. Terhenyak dalam tatapan itu, kehangatan yang hadir. Aku tidak ingin noda itu. Aku hanya ingin melihat, menikmati dari kejauhan. Kaki ini terus melangkah. Jauh dari pikiran. Jauh dari ngiang di kepala. Tanpa kontrol. Berjalan lepas, bebas menghampiri sosok itu.
Senyum itu, berbeda dengan yang ku lihat. Senyum seorang ibu. Tulus dari dalam hati. Aku terhenyak melihat senyum itu. Berdiri mematung, tak terlihat langkah mundur, pergi, menghindar. Seakan menanti, menanti secercah harapan baru. Harapan kosong yang tidak bisa ku berikan.
Ibu, ya...
Sosok itu seorang ibu, seorang ibu yang mencari kehangatan. Bukan untuk kehangatan tubuhnya, bukan untuk dekapan lawan jenis yang menghampirinya. Bukan untuk kepuasaan nafsunya. Bukan untuk mencapai kenikmatan dunianya.
Berdiri tegar, melawan kejamnya dunia. Berusaha mencari kehangatan, bukan untuknya. Untuk seorang wanita yang sedang tertidur pulas di kediamannya. Berusaha untuk mencari sedikit rupiah, bukan untuk membeli rias di wajah, bukan membeli sekepul asap putih, tapi, untuk sebuah pakaian usang berwarna putih dan merah. Untuk seorang wanita yang tertidur pulas di kediamannya.
Setia mengenakan topeng kehidupan. Untuk mencari sesuap nasi, bukan untuk sejengkal yang berada di bawah dadanya itu. Bukan untuk sejengkal yang berada diatas selangkangannya. Tapi untuk sejengkal lain, sejengkal yang sedang tertidur pulas di kediamannya. Wanita yang memiliki masa depan HARUS lebih baik.
Bukan untuk membaur dengan hingar bingar kenikmatan malam..
Untuk mu, wanita yang tertidur pulas di sana.
Maafkan ibu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar